Kontrol Emosi Perlu Dalam Kumite
Minggu, 08 September 2013
0
komentar
Ilmu bela diri
sebenarnya sudah dikenal semenjak manusia ada. Salah satu ilmu bela diri yang
terus berkembang hingga saat ini adalah karate. Perkembangan karate sebagai
salah satu bentuk ilmu bela diri diawali dengan penyebaran para pendeta
pengikut Sidharta Gautama ke seluruh dunia untuk menyebarkan ajarannya. Para
pendeta tersebut dibekali dengan ilmu bela diri untuk dapat melalui sulitnya
medan yang akan dilalui.
Penyebaran ilmu bela diri para pendeta pengikut Sidharta Gautama tidak sampai ke Jepang, hanya sampai di Kepulauan Okinawa karena pada saat itu di Jepang telah berkembang ilmu bela diri ju jitsu, judo, kendo, dan kenjutsu (ilmu pedang). Pada tahun 1600-an, Kerajaan Jepang yang telah menguasai Okinawa melarang penduduknya memiliki senjata tajam termasuk tongkat bagi orang tua. Oleh karena itu, masyarakat Jepang akhirnya mengembangkan ilmu bela diri dengan tangan kosong yang saat itu dikenal dengan tote. Pada tahun 1921, seorang penduduk Okinawa bernama Funakoshi Gitchin memperkenalkan tote ke Jepang, dan berubah namanya menjadi karate karena sesuai dengan aksen Jepang dalam cara membaca huruf kanji. Sejak saat itu karate berkembang pesat di Jepang dan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Masuknya karate ke Indonesia dibawa oleh para mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang pulang setelah menyelesaikan pendidikan mereka di Jepang.
Sesuai dengan perkembangan latihan karate di seluruh dunia, di Indonesia juga menerapkan tiga dasar latihan karate, yaitu kihon, kata, dan kumite. Kihon adalah istilah untuk latihan teknik-teknik dasar karate seperti teknik memukul, menendang, dan menangkis. Kata adalah istilah untuk latihan jurus-jurus atau bunga karate, dan yang terakhir adalah kumite yang merupakan istilah untuk latihan bela diri atau tempur.
Kumite sebagai salah satu metode latihan dalam bela diri karate, merupakan aplikasi praktis dari teknik menyerang dan bertahan dari serangan musuh (Nakayama, 1989). Hal ini jugalah yang membuat karate disebut sebagai salah satu aktivitas olahraga body contact, karena selama dalam suatu pertarungan (sparring) atau pertandingan akan selalu terjadi sentuhan fisik secara langsung antar karateka yang bertarung. Penguasaan reaksi emosi pun harus dimiliki oleh tiap atlet agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan atau yang terluka atas aktivitas fisik yang dilakukannya (Sukadiyanto, 2006).
Pada suatu pertandingan bela diri, seorang atlet harus berjuang sendiri dalam meredakan maupun membangkitkan emosinya, serta mengendalikannya dengan baik pada saat bertanding karena banyak kegagalan yang akan dialami oleh seorang atlet yang disebabkan atlet tersebut tidak dapat memanfaatkan dan mengontrol perubahan emosi yang terjadi pada dirinya.
Emosi dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan mental yang merujuk pada perasaan atau pikiran yang menimbulkan kecenderungan pada diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. Emosi yang merupakan kondisi sadar yang muncul pada diri seseorang akibat adanya interaksi dengan lingkungan berhubungan dengan proses-proses fisiologis pada diri orang tersebut. Manifestasinya dapat terlihat misalnya dengan timbulnya emosi agresif, menghindar, atau senang.
Kestabilan emosi dapat diartikan sebagai kondisi emosi yang mantap, dapat menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya, sehingga tidak menimbulkan gangguan emosional seperti cemas atau tertekan. Kestabilan emosi juga dapat dikatakan sebagai suatu kecenderungan pada diri seseorang untuk dapat mengendalikan respon emosionalnya, sehingga tidak terpengaruh oleh keadaan di luar dirinya.
Seseorang yang mengikuti latihan karate dapat dipengaruhi oleh adanya faktor keinginan dari dalam dirinya sendiri maupun dari luar dirinya. Faktor dari dalam diri sendiri dapat muncul karena adanya keinginan untuk dapat melindungi diri sendiri dan melindungi orang di sekitarnya. Faktor dari luar diri misalnya adanya pengaruh dari orang tua dan teman-teman. Namun, seorang karateka yang pada awalnya berlatih karate karena adanya keinginan dari luar dirinya bukan berarti tidak dapat mempertahankan eksistensinya di bidang karate. Sebaliknya, mereka juga dapat berprestasi dan tetap eksis untuk jangka waktu yang lama, tidak jauh berbeda dengan karateka yang berlatih karate karena keinginannya sendiri.
Sebelum bertanding, persiapan yang dilakukan oleh seorang atlet karate terdiri dari persiapan fisik dan mental. Persiapan fisik dilakukan dengan melatih fisik dan teknik bertanding, sedangkan persiapan mental dilakukan dengan berlatih tanding dengan teman atau sparring partner. Persiapan mental juga dapat didukung oleh doa. Pertandingan karate, terutama pertandingan kumite merupakan pertandingan olah raga yang tidak terukur, artinya bahwa keberuntungan dianggap berpengaruh, sehingga doa menjadi suatu hal yang penting dan mempengaruhi mental seorang atlet.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bentuk-bentuk emosi yang muncul pada seorang atlet karate yang mengikuti pertandingan kumite. Emosi yang muncul sebelum memasuki arena pertandingan, sampai dengan emosi pada saat menghadapi lawan, dan cara masing-masing atlet mengelola emosi-emosi yang muncul sampai pertandingan tersebut dapat diselesaikan.
Emosi yang biasanya dirasakan oleh seorang atlet sebelum bertanding adalah munculnya rasa gugup dan takut. Rasa takut yang muncul biasanya disebabkan adanya ketakutan akan cidera pada saat bertanding, takut mengalami kekalahan, takut tidak dapat bermain maksimal dan memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang mendukungnya. Rasa gugup atau ketakutan yang dirasakan sebelum bertanding, biasanya akan hilang pada saat seorang atlet memasuki arena pertandingan.
Sebelum masuk arena, untuk menghadapi rasa takut maupun gugup yang dirasakan, tiap-tiap atlet memiliki cara masing-masing untuk mensiasatinya. Misalnya dengan mendengarkan musik, membaca, relaksasi, atau berbincang-bincang dengan teman-teman atau sesama atlet. Setiap atlet memang sangat dianjurkan untuk dapat menghilangkan kegugupan yang dirasakannya sebelum pertandingan, karena apabila hal tersebut tidak dilakukan maka akan dapat mempengaruhi konsentrasi pada saat bertanding. Apabila konsentrasi terganggu, maka strategi yang telah dipersiapkan tidak dapat dijalankan dengan baik, dan akhirnya atlet tersebut tidak dapat mencapai prestasi yang maksimal (PB-PBSI, 2006).
Pada saat menghadapi lawannya di arena pertandingan, seorang atlet profesional akan berusaha menunjukkan performa terbaiknya, mengerahkan segala kemampuan, dan mengeluarkan teknik-teknik yang telah dipelajarinya selama latihan. Performa atlet tersebut juga akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lawan yang dihadapinya, termasuk emosi yang akan muncul selama pertandingan berlangsung. Emosi negatif seperti marah dapat muncul pada seorang atlet ketika lawannya menjadikan wajah atlet tersebut sebagai sasaran dari serangannya. Kecenderungan yang terjadi, seorang atlet akan menjadi lebih sensitif dan mudah terpancing emosinya untuk membalas ketika wajahnya sudah dipukul oleh lawannya. Emosi negatif juga dapat muncul apabila seorang atlet sudah tertinggal nilainya sejak awal pertandingan, apalagi jika atlet tersebut merasa bahwa serangan-serangan yang dilakukannya dianggap tidak masuk oleh wasit, sehingga tidak memberikan tambahan pada nilainya.
Emosi negatif yang muncul pada seorang atlet ketika bertanding dapat mempengaruhi gerakan dan serangannya. Emosi dianggap mempengaruhi faktor fisiologis pada diri atlet. Gerakan atau serangan atlet tersebut dapat menjadi tidak akurat dan tidak sesuai dengan teknik yang sebenarnya ingin dikeluarkan atau digunakannya. Goleman (2002) menyatakan bahwa bila emosi telah mengalahkan konsentrasi atau kemampuan berpikir seseorang, semua informasi atau pengalaman yang telah dimilikinya akan menjadi lumpuh atau tidak berfungsi dengan baik. Dalam hal ini, informasi atau pengalaman yang dimiliki oleh seorang atlet didapat dari latihan yang telah dilakukannya sebagai persiapan selama jangka waktu tertentu sebelum mengikuti pertandingan.
Emosi negatif sebagai salah satu gejala yang muncul pada suatu pertandingan dapat berubah menjadi emosi positif. Emosi positif seperti senang dan bersemangat merupakan gejala lain yang dapat muncul pada seorang atlet apabila atlet tersebut memiliki kemampuan mengatur emosi, atau kemampuan menstabilkan emosi yang muncul pada dirinya. Setyobroto (2002) menyebutkan bahwa salah satu gejala yang muncul pada seorang atlet adalah adanya stabilitas emosi. Stabilitas emosi akan dipengaruhi oleh adanya kematangan emosi, ketahanan mental, dan mental training.
Salah satu temuan penelitian ini menyebutkan bahwa seorang atlet dapat melatih kestabilan emosinya melalui latihan sparring partner yang berfungsi untuk mempelajari dan mengenali bentuk-bentuk reaksi emosi yang mungkin muncul dari lawan yang dihadapinya.
Kestabilan emosi pada pertandingan kumite dinilai sebagai suatu hal yang penting karena dapat mempengaruhi pukulan, tendangan, semua serangan yang dilakukan atlet tersebut kepada lawannya, dan otomatis mempengaruhi performa atau penampilannya di lapangan. Padahal, seorang atlet secara tidak langsung dituntut untuk menampilkan permainan atau pertandingan yang sportif dan menarik untuk dilihat atau ditonton.
Kestabilan emosi seorang atlet pada suatu pertandingan kumite dapat dikatakan sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol permainan, mensiasati pertandingan agar tidak mudah terpengaruh oleh emosi atau permainan lawan dan keputusan-keputusan wasit yang dianggap merugikan diri atlet tersebut. Seorang atlet yang memiliki kestabilan emosi terlihat lebih tenang dalam menghadapi lawannya di arena pertandingan, memiliki ritme permainan yang tetap dalam kondisi apapun, dan selalu berada pada titik performa terbaik di setiap pertandingan yang diikutinya.
Terbentuknya kestabilan emosi pada diri seorang atlet dapat berasal dari dalam diri atlet sendiri dan karena adanya pengaruh dari luar diri atlet. Kestabilan emosi yang sudah ada dalam diri seorang atlet dapat terbentuk karena adanya pengaruh dari faktor keturunan atau bawaan dan faktor kepribadian. Seorang atlet yang memiliki kepribadian yang tenang dan matang, cenderung akan memiliki kestabilan emosi dibandingkan dengan atlet yang memiliki sifat kepribadian arogan seperti yang dicontohkan oleh salah seorang subjek penelitian ini.
Kestabilan emosi yang terbentuk karena adanya pengaruh dari luar diri atlet dapat dipengaruhi oleh faktor pengalaman, pelatih, kesiapan dalam menghadapi pertandingan, pendukung, penonton, dan kepercayaan diri. Kepercayaan diri dalam suatu pertandingan olah raga dapat dipastikan menjadi salah satu faktor penentu suksesnya seorang atlet. Atlet yang rasa percaya dirinya hilang atau berkurang akan mengakibatkan penampilannya tidak maksimal karena tampil di bawah kemampuannya. Seorang pelatih juga sangat berpengaruh dalam menumbuhkan rasa kepercayaan diri dalam diri atlet. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dibangunnya komunikasi dua arah yang baik antara atlet dengan pelatih agar terjalin pengertian antar keduanya, sehingga program latihan dan peraturan dapat dijalankan sesuai dengan yang telah ditetapkan (PB-PBSI, 2006).
Kestabilan emosi yang terbentuk karena faktor dari luar diri atlet sifatnya dapat dilatih dan dapat berkembang, seiring dengan pengaruh dari keenam faktor di atas. Berkembangnya kestabilan emosi pada diri atlet tidak secara pasti dapat dirasakan tahap-tahap perubahannya, terbentuk seiring dengan banyaknya pengalaman bertanding yang dialami seorang atlet, dan akan dapat dirasakan manfaatnya secara tidak langsung pada saat atlet tersebut bertanding. Pengalaman sebagai salah satu komponen yang didapat karena interaksi individu dengan lingkungan, menurut Lewis akan memberikan pengaruh pada perkembangan emosi seseorang yang akan mempengaruhi kematangan emosinya. Lewis mengatakan bahwa pembentukan kematangan emosi terbentuk karena adanya interaksi antara bawaan (secara natural) dengan lingkungan (Strongman, 2003).
Atlet yang telah memiliki kestabilan emosi akan selalu berusaha untuk mengawali pertandingannya dengan perasaan yang lebih tenang dan rileks. Atlet tersebut tahu bagaimana caranya agar dirinya dapat lebih santai dan merasa rileks ketika bertanding. Salah satu contoh perilaku yang membantu menenangkan diri atlet sebelum bertanding adalah dengan berteriak. Selain membantu menenangkan diri, berteriak juga dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri dan semangat dalam diri atlet tersebut. Berteriak merupakan salah satu cara yang dianjurkan oleh seorang pelatih olah raga bela diri, karena sedikit banyak dapat mengendurkan ketegangan yang dialami oleh atlet yang sedang bertanding (Kompas Cyber Media, 2006).
Atlet yang memiliki kestabilan emosi dapat mengenali kondisi dan mengenali emosi yang muncul pada dirinya. Apabila emosi yang muncul dirasa dapat merugikan dirinya dan diri orang lain, atlet tersebut dapat mengatur emosinya sehingga tidak sampai keluar menjadi suatu gerakan atau serangan yang merugikan lawannya. Menurut Salovey, salah satu bentuk kecerdasan emosional adalah dapat mengenali emosi pada diri sendiri, yang mencakup adanya kesadaran diri, dan mengetahui perasaan apa yang dirasakan sewaktu perasaan itu terjadi (Goleman, 2002).
Kondisi lain yang terdapat pada atlet yang memiliki kestabilan emosi adalah adanya usaha untuk selalu bermain safe atau aman. Atlet tersebut dapat menyiasati perasaannya sendiri pada saat bertanding dan dapat mengontrol emosi selama pertandingan berlangsung sehingga dapat memenangkan pertandingan tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain.
Sebaliknya, seorang atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi pada saat bertanding dapat dipengaruhi karena tidak terpenuhinya enam faktor yang dapat mendukung terbentuknya kestabilan emosi. Misalnya, kurangnya persiapan fisik dan mental atlet tersebut dalam menghadapi pertandingan, tidak adanya dukungan dari orang-orang terdekatnya, dan tidak adanya figur pelatih yang dapat memaksimalkan potensi serta mengangkat semangat dari dalam diri atlet yang bersangkutan.
Atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi pada saat bertanding akan mudah terpengaruh secara fisik dan mental. Secara mental, atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi akan sangat mudah terpancing emosinya oleh gerakan-gerakan atau serangan yang dilakukan oleh lawannya. Ketika emosinya sudah mulai terpancing, atlet tersebut akan terpengaruh aspek fisiologisnya. Misalnya, atlet tersebut akan merasakan ketegangan otot, yang dapat menyebabkan gerakannya menjadi kaku. Hal ini akhirnya akan mempengaruhi kondisi atlet secara fisik. Gerakan atlet yang tidak memiliki kestabilan emosi akan menjadi kacau, serangan yang dikeluarkannya sudah tidak berdasarkan teknik yang telah dipelajari, dan ritme permainan menjadi berubah dan tidak beraturan.
Selain hal-hal yang telah disebutkan, akibat yang akan sangat merugikan tanpa adanya kestabilan emosi adalah apabila gerakan-gerakan yang dilakukan atlet tanpa adanya kontrol dapat menciderai dirinya sendiri dan lawannya. Apabila seorang atlet cidera, atau menciderai lawannya sampai salah satu pihak tidak dapat melanjutkan pertandingan lagi, maka atlet yang menciderai itu akan dikenakan sanksi berupa diskualifikasi dan tidak dapat melanjutkan pertandingan. Tentu saja hal tersebut akan sangat merugikan atlet yang bersangkutan.
sumber: http://wadokaimentawai.blogspot.com/2011/10/kestabilan-emosi-atlet-karate-pada-saat.html
Baca Juga :
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Kontrol Emosi Perlu Dalam Kumite
Ditulis oleh Berman HS
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://perkasaluhurbudirendahhati.blogspot.com/2013/09/kontrol-emosi-perlu-dalam-kumite.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Berman HS
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar